Kantor Urusan Agama (KUA) merupakan Unit Pelaksana Teknis(UPT) Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama. KUA bukanlahSatuan Kerja (Satker) yang memiliki kewenangan dan tanggungjawab dalam pengelolaan anggaran, namun UPT yang melaksanakan kegiatan teknis operasional dan/atau kegiatanteknis penunjang organisasi induknya. Dalam konteks ini, tugasdan fungsi KUA khusus pada domain keislaman karena sebagaikepanjangan tangan dari instansi vertikal Ditjen Bimas Islam.
Berdasarkan KMA No. 517 Tahun 2001 secara umummenyebutkan KUA memiliki tugas dengan menyelenggarakanfungsi: menyelenggarakan statsistik dan dokumentasi; menyelenggarakan surat menyurat, kearsipan, pengetikan, danrumah tangga KUA Kecamatan; danmelaksanakan pencatatannikah, rujuk, mengurus dan membina masjid, zakat, wakaf, baitul maal dan ibadah sosial, kependudukan danpengembangan keluarga sakinah sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Dirjen Bimas Islam berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam organisasi KUA dipimpin oleh seorang kepala yang bertanggungjawab kepada Kepala KantorKementerian Agama Kabupaten/Kota dengan jabatan struktural eselon IV/b. Sedangkan terkait dengan tatakerjanya sebagaimana disebut dalam pasal 6 harus menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, dansinkronisasi, baik dalam lingkup KUA, maupun dalam hubungan antar pemerintah baik pusat maupun daerah.
Kemudian muncul Surat Edaran Dirjen Bimas Islam tertanggal 28 Oktober 2015 yang berisi tentang status jabatan Penghulu dan Kepala KUA Kecamatan, dimana penghulu yang diangkat menjadi Kepala KUA diberhentikan sementara dari jabatan fungsional sambil menunggu revisi regulasi terkait organisasi dan tata kerja KUA dan jabatan fungsional penghulu yang saat ini dilakukan. Keluarnya SE tersebut untuk kepentingan pendaftaran aplikasi e-PUPNS yang mengharuskan single status bagi PNS, sehingga jabatan fungsional penghulu tidak dapat secara bersamaan sebagai pejabat struktural (kepala KUA) .
Terlepas dari status kepala KUA apakah harus berlatar belakang dari Penghulu atau tidak, faktanya kepala KUA hingga saat ini berstatus pejabat struktural eselon IV/b. Apalagi tugasnya bukan hanya pada lingkungan teknis kepenghuluan belaka, tetapi mencakup aspek-aspek lain yang sangat strategis, seperti menjalankan fungsi-fungsi koordinatif dengan pemerintahan daerah dan top leader di level pegawai KUA. Oleh karena itu, di bawah ini beberapa alasan kenapa Kepala KUA perlu diassesmen:
Pertama, kepala KUA sebagaimana disebutkan di atas saat ini menduduki jabatan struktural. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) menekankan tentang pentingnya profesionalitas pegawai (ASN), dimana assesmen menjadi salah satu pintu masuk pengembangan pegawai. Assesmen merupakan proses membandingkan kompetensi individu ASN dengan kompetensi yang dipersyaratkan oleh sebuah jabatan. Melalui assesmen diyakini dapat meningkatkan dukungan SDM yang sesuai dengan prinsip the right man on the right place (khususnya pejabat struktural) dalam rangka meningkatkan kinerja pemerintah.
Kedua, tugas dan fungsi KUA bukan hanya soal-soal administrasi pernikahan dan kepenghuluan, tetapi memiliki cakupan yang sangat luas, diantaranya terkait dengan pelayanan perwakafan dimana kepala KUA sebagai PPAIW (Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf), pelayanan kemasjidan, bimbingan pembinaan Syariah, serta penyelenggaraan fungsi lain yang ditugaskan oleh Kepala Kemenag Kabupaten/Kota, diantaranya adalah melakukan bimbingan manasik haji. Dari luasnya cakupan tugas dan fungsi tersebut maka seorang kepala KUA diperlukan kompetensi lebih, memiliki kepemimpinan (leadership) karena harus mengorganisir sekelompok pegawai untuk sebuah tujuan besar. Belum lagi jika berhubungan dengan penanganan problem-problem keummatan, seperti penyelesaian konflik-konflik horisontal berbasis agama.
Ketiga, KUA merupakan salah unit pemerintah penting di tingkat kecamatan. Meski tidak masuk dalam struktur resmi sebagai MUSPIKA (Musyawarah Pimpinan Kecamatan) yang terdiri dari Camat, Kapolsek, dan Danramil (PP No. 19 Tahun 2008), KUA memiliki posisi yang sangat strategis dalam bidang keagamaan. Hampir tidak ada masalah yang tidak melibatkan unsur KUA, baik pada aspek kependudukan, maupun aspek keagamaan yang pada faktanya mayoritas penduduk negeri ini umat Islam. Dalam posisi yang sangat strategis tersebut, dimana KUA merupakan representasi kelembagaan, dalam hal ini Kementerian Agama, maka kepala KUA harus memiliki kualifikasi khusus karena menyangkut image institusi.
Berdasarkan ketiga alasan tersebut, maka wajar adanya seluruh Kepala KUA harus dilakukan assesmen, apakah selama ini yang telah mendudukinya sudah tepat atau perlu perombakan. Jika ada sebuah pemahaman bahwa kepala KUA yang berasal dari penghulu tidak diperlukan assesmen lagi merupakan cara berfikir yang tidak benar karena cakupan tugas dan fungsi KUA bukan sekedar administrasi pernikahan.
Pelaksanaan assesmen sejatinya bukan hanya untuk kepentingan penempatan sebuah jabatan, tetapi sebagai sebuah metode yang digunakan untuk mendeteksi potensi diri pegawai melalui simulasi-simulasi latihan situasional yang dapat digunakan untuk kebutuhan pengembangan karirnya.Dengan cara ini maka akan dapat dipetakan potensi dan kapabilitas yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan instansi. Apalagi saat ini secara intensif dilakukan penataan kelembagaan untuk mewujudkan pemerintahan yang besih dan melayani.
Dengan demikian, untuk mensukseskan pelaksanaan reformasi birokrasi, yang salah satunya menyangkut pemetaan SDM melalui assesmen, maka seluruh aparatur Kemneterian Agama harus mengikutinya, tak terkecuali kepala KUA, demi terwujudnya pemeritahan yang baik dan akuntabel. Namun, hal yang paling pokok adalah bagaimana pelaksanaan assesmen dapat dilakukan dengan biaya kecil tetapi tetap dapat menghasilkan yang maksimal agar tidak menggerus anggaran program-program prioritas lainnya. Wallahu a’lam
Thobib Al-Asyhar, Kasubag Sistem Informasi Ditjen Bimas Islam